Ilustrasi |
JCS - Memang alam (bumi-red) ini semakain panas dan sudah tidak bersahabat lagi dengan manusia? Gempa bermagnitudo 6,4 mengguncang Sumenep, Kamis (9/10/2018). Meski gempa itu tak sebesar yang melanda Palu maupun Lombok tetapi tetap memicu tsunami. Demikian yang baru-baru ini ramai komentar di media sosial (medsos).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geosfisika (BMKG) memberitahukan gempa tersebut, seorang warganet membalasnya. "Bisa nggak sih ngasi peringatannya itu jauh2 sblm terjadi. Biar bisa antisipas, keknya fungsi BMKG d negara lain itu gitu, bukan ngabarin sedetik sblum kejadian," demikian posting pertamanya yang kata-katanya dinilai merusakkosa kata.
"Itu ada alatnya, seharusnya jika di pasang bener, kalo kejadiannya d laut ada waktu buat ngabarin yg di darat! Bukan update stelah kejadian," dia melanjutkan. Pada saat yang sama, orang ramai-ramai mencari tahu apakah gempa bisa diprediksi.
Ini salah satunya terlihat dari top kewyord yang muncul di salah satu media nasional. Orang googling dengan kata atau frase kunci: prediksi gempa, prediksi gempa BMKG, ramalan gempa, ramalan gempa menurut primbon Jawa, hal-hal mistis gempa Lombok, dan lainnya.
Untuk Anda semua yang masih mencari hal tersebut, ada berita buruk. BMKG sampai sekarang belum bisa membuat prediksi gempa. Bukan cuma BMKG, tapi tak ada satu pun lembaga riset di dunia yang bisa. "Hingga saat ini, tidak ada satupun lembaga resmi dan pakar yang kredibel dan diakui mampu memprediksi gempa," kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, beberapa waktu lalu.
Dia mengungkapkan, hingga kini hanya ada satu peristiwa gempa yang "berhasil" diprediksi, yaitu gempa Haicheng di China dengan magnitudo 7,5. Berhasil bertanda kutip sebab tidak bisa dipastikan jelas apakah memang keberhasilan memprediksi atau hanya kebetulan.
Prediksi sudah keluar setahun sebelum gempa terjadi. Beberapa jam sebelum gempa, China mengevakuasi penduduk kota beberapa jam sebelum gempa terjadi. 90 persen bangunan hancur saat gempa tapi 90.000 penduduk selamat.
Setelah itu, China getol melakukan riset prediksi gempa. Namun nyatanya, prediksi kerap meleset dan banyak warga China juga tewas akibat gempa. Selain China, Jepang juga melakukan riset prediksi gempa tetapi tahun 2011, mereka kecolongan dengan gempa bermagnitudo 9 yang memicu tsunami dan bencana nuklir.
Amerika Serikat yang punya sesar San Andreas juga melakukan riset prediksi gempa. Mereka memasang alat pengukur regangan strainmeter dan tiltmeter, memonitor gas radon, dan perubahan suhu. Hasilnya hingga kini tak memuaskan.
Mereka belum bisa menentukan kapan pastinya, atau bahkan range-nya, sesar San Andreas akan marah. Meski kita gempa tak bisa memprediksi, ada berita baiknya. Peneliti gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mudrik Rahmawan Daryono mengatakan, gempa bumi tidak terjadi secara acak, tetapi rutin.
Pihaknya bersama tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB), melakukan penelitian sejarah gempa atau paleo-earthquake. "Yang kami lakukan adalah melakukan paritan atau ekskavasi di atas tepat sumber sesar aktif," jelasnya.
Salah satu yang diteliti adalah segmen Saluki di Sulawesi Tengah, bagian dari sesar Palu Koro yang memicu gempa Palu 2 minggu lalu. Mereka meneliti struktur tanah segmen Saluki, mengambil sampel karbon, dan lainnya. Tujuannya, mengetahui interval gempa dan kekuatan yang mungkin ditimbulkannya.
Melalui kajian ini, Mudrik dan tim menemukan bahwa di segmen Saluki, gempa terjadi dengan interval setiap 130 tahun dengan kisaran magnitudo 6 hingga 7. “Kami menemukan gempa bumi di wilayah yang sama pada tahun 1909 dan sekitar lima kali kejadian gempa bumi tua yang belum diketahui usianya. Lalu dua gempa bumi yang lebih tua lagi diketahui terjadi pada 1285 dan 1415,” paparnya.
Namun penelitian masih perlu kajian lanjutan. Interval 130 tahun itu masih belum diketahui deviasinya, bisa 50 tahun lebih cepat atau lambat. Bukan hanya gempa yang bisa diteliti sejarahnya, tetapi juga tsunami. Ahli geologi LIPI lainnya, Eko Yulianto, melakukan penelitian paleo-tsunami di selatan Jawa.
Dia menemukan, ada tsunami yang terjadi di selatan Jawa antara 1685 hingga 1723. Dengan toleransi 24 tahun, dia membuat asumsi tsunami terjadi pada 5 Januari 1699. Pada tanggal tersebut, memang ada gempa besar seperti dicatat dalam Katalog Wichman. Pada tahun itu juga, Jakarta porak poranda karena gempa.
"Selama ini banyak yang menduga gempa pada 1699 terjadi di darat karena dampak kerusakannya di daratan. Namun, dari temuan deposit tsunami ini, sekarang ada hipotesis baru, gempa ini terjadi di zona subduksi," terangnya dalam pemberitaan sebelumnya.
Kajian sejarah gempa dan tsunami bukan bertujuan membuat ramalan tetapi mendasari mitigasi bencana. Dengan tahu potensi gempa, Indonesia bisa mempersiapkan cara mitigasinya agar tidak timbul banyak korban. Sementara sesar dan potensi gempa masih belum sepenuhnya terpetakan, ada yang bisa dilakukan; mitigasi.
Salah satu langkah mitigasi penting adalah membangun umah tahan gempa. Kementerian Pekerjaan Umum telah mengembangkan Ruman Instan Sederhana Sehat (RISS)
.
Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Japan International Cooperation Agency (JICA) telah mengembangkan panduan membangun rumah tahan gempa. Persyaratan Rumah Anti Gempa (JICA) Iman Satyarno, dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan, salah satu kunci rumah tahan gempa adalah campuran semen dan pasirnya.
“Jadi ketika ada masyarakat yang ingin membangun tipe rumah tembok ada guide, mencampur semen satu ember pasirnya harus empat ember. Biasanya masyarakat berlebih mencampur pasir,” tuturnya.
Infrastruktur peringatan dini sangat perlu, tetapi semua juga perlu mengembangkan pengetahuan dan sensitifitas soal gempa. Menurut Eko, itu untuk mencegah korban tsunami mengingat di Indonesia, tsunami bisa datang dalam waktu kurang dari 10 menit sehingga kesempatan menyelamatkan diri kecil jika hanya mengandalkan peringatan dini.
“Kasus seperti 25 Oktober 2010 di Mentawai, orang yang selamat yang kita interview saat itu melihat tulisan ‘berpotensi tsunami’ di televisi. Dia keluar, lari sedikit, air sudah menggulung,” jelas Eko.
Tsunami palu misalnya, menghantam pantai hanya 8 menit setelah gempa. Daryono mengungkapkan, alih-alih riset prediksi gempa, Jepang dan USA kini lebih tertarik mengalokasikan anggaran dana untuk mitigasi gempa, seperti penguatan struktur bangunan dan masyarakat di kawasan berisiko.
"Jadi agar kita selamat dari gempa dan tsunami, lebih baik mencari informasi dengan kata atau frase kunci: mitigasi gempa, mitigasi tsunami, dan lainnya yang berbasis mitigasi dan riset," pungkasnya. (tas/net)