Ilustrasi |
JCS - Karin Novilda atau akrab disapa Awkarin tak pernah sepi dari perhatian warganet. Setelah beberapa waktu lalu menghilang dari Instagram yang membesarkan namanya, pada hari Senin (22/10/2018), ia muncul lagi lewat video berjudul "I Quit Instagram" yang diunggah ke Youtube.
Sedikit banyak, Karin menceritakan pengaruh yang dibawa media sosial dalam kehidupan nyata.
Karin buka-bukaan tentang bagaimana pendidikan yang diberikan kedua orangtuanya. Meski kedua orangtuanya dokter, ia mengaku harus belajar mati-matian demi mendapat juara di kelas dan nantinya diberi hadiah. Hal ini lambat laun menempanya menjadi sosok kuat dan gigih.
Di kesempatan yang sama, ia juga mengaku pernah mengalami masalah gangguan mental. "Dulu banget, aku pernah mengalami mental depression, long before Instagram thing, long before nangis-nangis karena diputusin," katanya.
Saat SMA, dia mengaku sering bolak-balik masuk rumah sakit karena hal tersebut. Gangguan mental ini dialaminya selama dua tahun, dan saat itu ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia pun tidak menceritakan apa yang dirasakan dan dialaminya kepada orang terdekat, termasuk keluarga atau teman.
Alasannya, ia malu menceritakan hal tersebut dan tidak mau orang terdekatnya beranggapan ia gila. "Waktu SMA aku takut kehilangan sesuatu. Entah orang, enggak harus pacar, tapi temen, keluarga, atau apa yang aku punya aku takut kehilangan, aku juga takut tergantikan, aku juga takut enggak jadi terbaik," imbuh perempuan 20 tahun ini.
Ia sempat sembuh, depresi kembali muncul ketika ia dituduh sebagai seorang pembunuh karena kematian seseorang. Namun kali ini Karin dapat dengan cepat bangkit dan bisa kembali normal dalam dua bulan. Setelah kejadian itu, ia memutuskan untuk bangkit dan instropeksi diri.
"Akhirnya sekarang aku bangkit dan dalam waktu satu tahun ini aku membuat banyak prestasi yang membuat banyak ornag mengacungkan jempolnya kepadaku," katanya. "Dan sampailah titik di mana aku punya apa yang aku butuhkan. I have fans, I have money, I have all those people that love me, I have love and likes, and good comments. Tapi ternyata semua itu enggak menjamin kebahagiaan seseorang," ujarnya.
Lambat laun dia sadar kepopulerannya tidak menunjukkan sifat aslinya. Bahkan, ia sendiri mengaku tidak mengenal Karin yang seperti itu. "Tiba-tiba aku sadar, aku ngepost di media sosial cuma karena engagement. Entah kenapa aku seneng ketika ngepost dapat likes yang banyak, aku dapat comments yang banyak dan baik-baik. Tapi aku ngerasa sampai di titik, apa yang aku rasain itu toxic," imbuhnya.
"Ketika aku ngepost dan aku dapat likes yang enggak terlalu banyak, I get sad, I get depressed, I get stressed, dan juga enggak happy. Gue jadi overthinking apa yang harus diperbaiki. Dan untungnya aku cepat sadar, this lead me to another depression. Ketika ekspektasi aku enggak tercapai, aku bisa depresi lagi," tuturnya.
Menurut dia, media sosial memiliki pola yang sama seperti narkoba, di mana bisa membuat penggunanya bahagia. Ketika mendapat banyak reaksi atau perhatian, saraf di otak mengeluarkan dopamine dan akhirnya membuat bahagia.
Kata psikolog berkaitan dengan media sosial dan pengaruhnya, jurnalis meminta tanggapan dari dua psikolog, yakni Kasandra A. Putranto, seorang psikolog klinis, dan Linda Setiawati dari Personal Growth. Kasandra dan Linda sepakat bahwa media sosial dapat memberi dampak besar, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Terlebih saat ini, hampir semua orang menggunakan handphone dan gadget ini telah menjadi suatu kebutuhan.
"Media sosial akan merefleksikan kualitas psikologis seseorang dan sebaliknya, kualitas psikologis seseorang akan sangat mempengaruhi perilakunya dalam beraktivitas di media sosial," kata Kasandra, Rabu lalu
"Berdasarkan teori Primming, segala hal dari media sosial bisa diyakini kebenarannya, karena memang media membentuk pengetahuan dan sikap seseorang," imbuhnya. Linda menambahkan, munculnya media sosial dapat memberikan dampak positif dan negatif, tergantung bagaimana pengguna memanfaatkannya.
Bisa saja kita menggunakan media sosial sebagai sarana belajar dan berinteraksi dengan orang lain, namun di sisi lain bisa berdampak negatif ketika kita turut serta menyebarkan hoax melalui media sosial. "Media sosial dapat berdampak bagi diri sendiri maupun dalam hal hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan sosial dengan orang lain dapat terganggu ketika seseorang lebih mementingkan hubungan di media sosial dibandingkan hubungan tatap muka langsung dengan orang lain, termasuk hubungan dengan orang terdekat," jelas Linda.
Kecanduan media sosial orang-orang yang sangat ketergantungan menggunakan gadget dan media sosial, terutama dengan intensitas waktu dan kegiatan yang tinggi, juga sangat mungkin membuat kecanduan. Ciri-ciri individu yang mengalami kecanduan media sosial antara lain mereka mulai menghabiskan hampir sebagian besar waktunya untuk menggunakan media sosial, merasa cemas ketika tidak menggunakan media sosial, dan bahkan sampai mengganggu aspek kehidupan lainnya.
"Kecanduan pasti mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Bisa saja kecanduan media sosial membuat seseorang tidak bisa berfungsi maksimal, baik aktivitas diri sendiri seperti menjadi lupa mandi atau makan karena menghabiskan waktu untuk bermain media sosial, dan performa kerja menjadi tidak optimal akibat penggunaan media sosial. Kondisi tersebut menjadi indikasi kesehatan mental individu terganggu," kata Linda.
Linda pun mengatakan, setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk diapresiasi maupun mendapat pengakuan. Kalau dulu apresiasi mungkin diberikan lewat penghargaan dalam sebuah kompetisi, di masa modern ini orang berlomba untuk mendapat banyak likes di media sosial. Artinya, hal ini tidak hanya dialami oleh Awkarin.
"Seseorang tinggal posting, mendapatkan like, yang kemudian membuat individu merasa ia disukai. Kondisi ini menyebabkan orang menjadi mudah merasa kecewa, kondisi emosional terganggu karena bergantung pada respons positif lingkungan yang diindikasikan dengan likes," ujar Linda.
Dalam kasus seperti yang pernah dialami Awkarin, di mana ia mengaku akan sangat bahagia bila mendapat banyak perhatian lewat postingan media sosialnya, Kasandra berkata bahwa hal seperti ini umumnya terjadi pada mereka yang memiliki kadar dopamine rendah atau terbatas.
"Orang dengan kadar dopamine rendah akan berusaha melakukan hal-hal tertentu demi memperoleh dopamine. Namun, hal ini tidak berlaku otomatis pada setiap orang. Mereka yang tidak memiliki masalah dopamin tentu memiliki potensi risiko rendah menjadi adiktif (gadget)," jelasnya.
Untuk menghindari masalah seperti ini, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah belajar untuk mengontrol diri sendiri untuk tidak hanya menggunakan gadget setiap ada kesempatan. "Jika sudah mulai memunculkan kecenderungan ke arah sana, maka perlu diwaspadai.
Langkah nyata yang bisa kita lakukan adalah memperbanyak aktivitas riil di lingkungan, memperbanyak pertemuan atau interaksi tatap muka dengan orang (bukan di dunia maya), ikut dalam kegiatan komunitas, atau bisa juga berolahraga," jelas Linda.
"Kuncinya keseimbangan. Segala hal yang ada di dunia ini tidak baik bila terlalu banyak, dan tidak baik bila terlalu sedikit. Manfaatkanlah gawai dan media sosial secara proporsional," tutup Kasandra. (tas/net)