Ilustrasi |
Mataharilah yang menjadi titik tengah tata surya. Demikian dalam tulisan Galileo yang juga seorang ilmuwan luar negeri, Italia. Yang kini terbukti lewat scientific itu dulu dibantah oleh gereja yang memiliki doktrin bahwa bumi adalah pusatnya.
Gelileo Galilei menuliskan, seorang fisuf sejati bak seekor burung elang. Terbang sendiri, melalang angkasa, menetakkan pandangan yang tajam dan luas, mengawasi dan waspada. Sedang filsuf gadungan, seperti kawanan burung-burung gagak. terbang bergerombol, beroak-koak di angkasa dengan suara memekakkan, tapi koronya minta ampun, memenuhi bumi yang ada di bawah mereka.
Media atau surat, selain sebagai alat komunikasi dengan anak tercintanya, Maria Celeste, sebenarnya juga menjadi cara galileo menghibur dirinya sendiri, sejak dwan gereja menghukumnya karena teoriheliocentris yang ia percaya.
Karena memiliki dan cara pada teorinya itu pula, Galileo dipenjara oleh gereja. Perpustakaannya dihanguskan, karya-karyanya dimusnahkan dan Galileo sendiri dikucilkan dari masyarakat, terlebih dari masyarakat gereja. Padahal, Gali adalah seorang kristiani yang taat, seorang yang terbilang agamawan.
Kondisi itulah yang menyadari ia menulis filsuf sejati itu seperti elang. Sepi sendiri tapi ketajamannya, kewaspadaannya, pada akhirnya akan memberi manfaat. Tidak saja bagi dirinya sendiri, tapi juga pada orang lain yang lebih banyak.
Lagi-lagi, kita disodori bukti, bahwa sesungguhnya manfaatlah yang memberikan kemuliaan pada manusia. Manfaat pula yang menjadi bukti seseorang betul-betul cerdas. Jalan sepi yang dilalui orang-orang yang punya sudut pandang baik dan pikiran mulia tak pernah mempengaruhi untuk mencapai garis finish.
Meski tak ada kelopak mawar di sepanjang jalan, atau daun palma yang menyambut langkah bukan pula hal yang pengganggu pikiran. Karena memang bukan tepuk tangan riuh yang ia damba, tapi lebih dari itu, perhatiannya sudah tersita habis untuk mengejar apa yang terlewatkan; menguak misteri yang ditata Tuhan pada semesta dan mengambil manfaat darinya dengan tidak mendurhakai-Nya.
Mereka yang berpura-pura, dan mengedepankan formalitas belaka, selalu gelisah bahkan dalam pikirannya selalu ingin tahu kesalahan dan kelemahan orang lain sebagai bahan perbanding dan alat ukur hidupnya. Langkah demi langkahnya selalu terganggu jika tak dapat sanjungan di pundak. Ia nyaris tak menerima kebaikan dari orang lain.
Ia tak akan pernah sampai pada ujung perjalanan, karena sepanjang jalan ia terlena oleh buai pujian kalimat. Dan sejatinya, orang-orang yang pura-pura cerdas tak pernah benar-benar memberi manfaat kecuali yang semu.
Manfaat atau tidak, itulah yang menjadi indikasi jelas apakah seorang benar-benar cerdas atau hanya berpura-pura menjadi cerdas. Tapi untuk melihat indikasi itu, bukan barang gampang. Ada banyak selimut kabut yang harus disibak terlebih dahulu. sehingga kita tak bisa tertipu. Dan untuk itu, lihat saja orang-orang cerdas selalu mengajukan tanya dan gagasan walau malu bahkan dipermalukan. Sedang orang yang berpura-pura cerdas selalu mengulang-ulang gagasan dan berkutat itu-itu saja.
Orang-orang cerdas selalu menjadi sumber suara dan sumber gema. Tapi orang-orang yang berpura-pura cerdas, banyak tertutup rapat dan membangun sebuah resonasi dan gema semata. Sudahkah kita tahu orang-orang cerdas di sekeliling kita? Orang-orang yang akan kita pilih sebagai teman terbaik. Shalallahu 'alaihi wa sallam. Subhanakal lahuma wa bihamdik...*